Polemik Grup LGBT di Medsos Lampung: Desakan Perda Menguat, Aktivis HAM Ingatkan Potensi Diskriminasi
Di Balik Desakan Perda Anti-LGBT Lampung: Antara Ancaman Moral dan Bayang-Bayang Pelanggaran Hak Asasi
BANDAR LAMPUNG – Fenomena kemunculan grup-grup media sosial untuk komunitas penyuka sesama jenis dengan puluhan ribu anggota di Lampung telah memicu polemik tajam di ruang publik. Isu yang semula berpusat di ranah digital kini bergeser menjadi perdebatan serius tentang moralitas, hukum, dan hak asasi manusia, yang menempatkan pemerintah daerah di persimpangan jalan.
Desakan paling kencang datang dari tokoh pemuda sekaligus Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Lampung, Iqbal Ardiansyah. Menyikapi fenomena ini, Iqbal secara terbuka mendorong Pemerintah Provinsi dan DPRD Lampung untuk segera merumuskan dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) yang melarang aktivitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
“Ini bukan lagi sekadar fenomena, tetapi ancaman nyata terhadap nilai-nilai agama, budaya luhur, dan moralitas generasi muda kita,” tegas Iqbal dalam keterangannya kepada media, Senin (7/7/2025).
Menurut Iqbal, Perda tersebut krusial untuk menegaskan sikap daerah dalam menjaga nilai-nilai Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia merinci bahwa fokus regulasi ini bukanlah untuk memicu kebencian, melainkan sebagai langkah preventif dan solutif.
“Kami tidak membenci individu pelakunya. Tujuan utama Perda ini adalah untuk pencegahan melalui edukasi, dan rehabilitasi bagi mereka yang terjebak, demi menyelamatkan masyarakat dari potensi penyimpangan moral yang lebih luas,” jelasnya.
Namun, gagasan Perda Anti-LGBT ini menuai kekhawatiran dari kalangan aktivis hak asasi manusia. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung (sebagai contoh perspektif), M. Riza Fauzi, S.H., mengingatkan bahwa pembuatan Perda semacam itu berisiko tinggi melanggar hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
“Setiap warga negara memiliki hak atas privasi, kebebasan berekspresi, dan bebas dari diskriminasi. Perda yang menargetkan orientasi seksual tertentu sangat rentan menjadi alat persekusi dan kriminalisasi,” ujar Riza saat dihubungi terpisah.
Menurutnya, fenomena grup daring justru harus dilihat sebagai akibat dari minimnya ruang aman bagi kelompok minoritas untuk berekspresi. “Mengapa mereka berkumpul di dunia maya? Karena ruang nyata sering kali tidak aman dan penuh stigma. Mendorong Perda restriktif hanya akan memaksa mereka lebih jauh ke ‘ruang bawah tanah’ dan mempersulit akses terhadap layanan kesehatan dan edukasi yang benar,” tambahnya.
[Berry/Times Akurat News]
Baca Juga :